Di pagi yang masih dibasahi sisa embun, Watini mendorong gerobak dagangannya menyusuri jalan-jalan kecil di selatan Bantul. Gerobak itu bergerak pelan, menatap rumah-rumah yang mulai hidup. Namun siapa sangka, sebelum memiliki gerobak layak seperti yang kini ia gunakan, perempuan berusia setengah baya itu pernah berkeliling menggunakan gerobak sampah pinjaman.
Bertahun-tahun lalu, Watini meminjam gerobak sampah milik RT setempat. Setiap subuh, ia membersihkan gerobak itu sampai benar-benar layak membawa sayuran, dan barulah ia menata dagangannya; kangkung segar, bumbu dapur, dan beberapa jenis sayur yang ia beli dari pasar. Dengan alat seadanya itulah ia menghidupi hidupnya, menutup hari dengan sisa tenaga yang sering tinggal sedikit.
Kegetiran itu berubah pada 2021 ketika Kantor Layanan Lazismu Bantul Kota melalui program UMKM Mandiri memberikan satu unit gerobak baru yang lebih kokoh, lebih manusiawi, dan merepresentasikan martabat pedagang kecil. Sejak itu, langkah Watini terasa lebih ringan. Ia tak lagi menanggung tatapan kasihan warga, tak lagi cemas gerobak rusak di tengah perjalanan.
“Gerobak itu seperti hadiah yang mengubah napas hidup saya,” kenangnya.
Namun, hidup pedagang kecil benar-benar tidak stabil. Beberapa bulan terakhir, modal usaha Watini perlahan menyusut. Harga sayuran naik-turun tanpa pola, sementara pendapatan harian tak cukup menutup kebutuhan rumah tangga. Gerobak boleh kuat, tapi modal dagangan merapuh. Ritme hidupnya kembali goyah.
Di kantor Lazismu Bantul Kota, tim pendayagunaan program memeriksa laporan asesmen Watini. Nama itu sudah familiar, seorang mustahik tulus yang tak pernah menuntut lebih dari yang seharusnya. Hasil asesmen terbaru menunjukkan ia layak mendapatkan dukungan lanjutan. Bukan karena ketergantungan, tetapi karena konsistensinya menjaga usaha dan keteguhannya mempertahankan kemandirian.
KL Lazismu Bantul Kota memiliki satu prinsip penting: bantuan modal tidak diberikan dalam bentuk uang tunai. Terlalu riskan, terlalu banyak variabel penyimpangan, dan terlalu mudah habis sebelum benar-benar menjadi modal produktif, bukan berprasangka buruk namun lebih kepada kehati-hatian. Karena itu, bantuan diberikan dalam bentuk barang yang langsung terkait dengan usaha mustahik.
Dari prinsip itu, kegiatan belanja bareng muncul. Program ini mengajak mustahik membeli sendiri kebutuhan dagangan, ditemani relawan yang memastikan kelayakan dan kesesuaiannya. Watini menjadi salah satu penerima manfaat yang kembali dijangkau melalui skema ini.
Pada hari yang ditentukan; Kamis, 27 November 2025 Watini dijemput oleh tim Lazismu dengan senyumnya yang merekah, membawa secarik daftar belanja yang ia tulis malam sebelumnya. Daftar itu tak panjang; teh, gula, mie instan, minyak goreng, dan beberapa kebutuhan pokok lain. Ia hafal betul barang mana yang paling cepat ludes di gerobaknya. Bertahun-tahun berdagang membuatnya mengenali ritme pasar kecil yang terbentuk dari selera pelanggan.
Setibanya di toko grosir, Watini tampak berhati-hati. Ia memegang satu persatu barang, mempertimbangkan harga, membandingkan merek, memastikan semuanya sesuai permintaan pasar. Relawan yang mendampinginya melihat betapa telitinya perempuan itu memilih. Belanja bareng bukan sekadar kegiatan transaksi, ini cara memastikan mustahik tetap menjadi aktor utama dalam usahanya sendiri.
“Yang ini cepat habis,” ucap Watini lirih sambil mengangkat sebungkus gula pasir. “Biasanya sebelum zuhur sudah tidak ada.” Ia kemudian menambahkan teh celup, beberapa bungkus mie instan, dan minyak goreng ke dalam keranjang. Setiap barang dimasukkan dengan keyakinan kecil bahwa semuanya akan kembali menjadi rupiah-rupiah yang kelak kembali berputar dalam modal.
Di sela memilih barang, bibirnya beberapa kali merekah. Bukan hanya karena mendapat bantuan, tetapi karena ia boleh menentukan sendiri. Ada harapan yang tumbuh dari proses memilih yang sederhana itu.
“Kami menghindari penyaluran uang tunai. Pendampingan seperti ini membuat kami bisa memastikan penyaluran zakat lebih tepat sasaran,” ujar salah satu tim pendamping dari Lazismu Bantul Kota. Ia menegaskan bahwa program ini dirancang bukan sebagai bantuan insidental, tetapi sebagai upaya menghidupkan kembali keberanian mustahik untuk tetap mandiri.
Bagi Watini, stok dagangan baru berarti ritme hidupnya kembali pulih. Subuh nanti, ia akan kembali mendorong gerobaknya, menapaki rute yang sudah ia hafal di luar kepala. Ia akan kembali mengetuk pintu pelanggan lamanya, mengobrol sejenak, dan mengumpulkan uang receh yang kemudian menjadi denyut kecil ekonomi keluarga.
Bantuan dari Lazismu Bantul Kota bukan sekadar penambal modal. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa pedagang kecil seperti Watini tidak boleh dibiarkan berjalan sendirian. Ada tanggung jawab sosial yang dipikul lembaga ini untuk memastikan zakat benar-benar menjadi energi pemberdayaan—bukan hanya sedekah yang cepat hilang.
Program belanja bareng menjadi bukti konkret bagaimana pemberdayaan dapat dilakukan secara manusiawi, memperlakukan mustahik sebagai pelaku usaha, bukan penerima belas kasihan. Dengan pendampingan yang tepat dan penyaluran berbasis kebutuhan, roda ekonomi mikro dapat terus hidup pelan, tetapi pasti.
Dan Watini, dengan senyum yang kembali hangat dan gerobak yang kembali penuh, melanjutkan perjalanannya. Bukan sebagai objek bantuan, tetapi sebagai perempuan yang memelihara harapan di atas roda gerobak sederhana.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Pengelolaan Zakat Produktif Ala KL Lazismu Bantul Kota, Watini Kembali Siap Berdagang”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/saidsupriyadi/6927d2cec925c44f672074a2/pengelolaan-zakat-produktif-ala-kl-lazismu-bantul-kota-watini-kembali-siap-berdagang
Kreator: Said Supriyadi
